Senin, 14 Mei 2012

Hubungan Agama dengan Masyarakat


Hubungan agama dan masyarakat
 “Dalam rangka memenuhi tugas ilmu sosial dasar”


 


Dosen Pengampu : Nana Sudiana, S.IP


DISUSUN OLEH:
Nama : Muhammad Ridwan
Nim   : 010111a076



PROGRAM  STUDI  ILMU KEPERAWATAN STIKES NGUDI WALUYO UNGARAN 2011/2012







KATA PENGANTAR


Segala puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial Dasar yang diberikan oleh Nana Sudiana S.IP dengan topik hubungan antara Masyarakat Dengan Agama
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah yang kami susun. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi terciptanya kesempurnaan dalam makalah ini.
Semoga dengan disusunnya makalah ini dapat memberikan manfaat terutama dalam menambah pengetahuan dan pemahaman terhadap materi Ilmu Sosial Dasar, khususnya bagi pembaca dan rekan-rekan pada umumnya.









Semarang,                  Mei  2012




Penyusun




BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Dilihat dari segi Agama dan Budaya yang masing – masing memiliki keeratan satu sama lain, sering kali banyak di salah artikan oleh orang – orang yang belum memahami bagaimana menempatkan posisi Agama dan posisi Budaya pada suatu kehidupan.
 Dalam kehidupan bermasyarakat agama sangat berperan penting dalam masyarakat, untuk mengatasi prsoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian.
Saat ini masih ada segelintir masyarakat yang mencampur adukkan nilai – nilai Agama dengan nilai – nilai Budaya yang padahal kedua hal tersebut tentu saja tidak dapat seratus persen disamakan, bahkan mungkin berlawanan.
Demi terjaganya esistensi dan kesucian nilai – nilai agama sekaligus memberi pengertian, disini penulis hendak mengulas mengenai Apa itu Agama dan Apa itu Budaya, yang tersusun berbentuk makalah dengan judul “Agama dan Budaya”. Penulis berharap apa yang diulas, nanti dapat menjadi paduan pembaca dalam mengaplikasikan serta dapat membandingkan antara Agama dan Budaya.

1.2 Tujuan
            Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tangung jawab sebagai mahasiswa. Selain itu di harapkan pembaca bisa menganalisa pentingnya nilai-nilai agama dalam suatu budaya/masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat.
           





BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Agama Dan Masyarakat

Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan kebudayaan (Soerjono Soekanto, 1983). Sedangkan agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut.
golongan masyarakat dapat diartikan sebagai penggolongan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu kelompok yang mempunyai karakteristik yang sama atau sejenis. Dalam kamus sosiologi dinyatakan sebagai kategori orang-orang tertentu, dalam suatu masyarakat yang didasarkan pada cirri-ciri mental tertentu Berdasarkan definisi di atas, penggolongan masyarakat dapat dibuat berdasarkan ciri yang sama. Misalnya,
(1) penggolongan berdasarkan jenis kelamin adalah pria dan wanita;
 (2) penggolongan berdasarkan usia adalah tua dan muda;
(3) penggolongan berdasarkan pendidikan adalah cendekia dan buta huruf;
(4) penggolongan berdasarkan pekerjaan adalah petani, nelayan, golongan buruh, pengrajin, pegawai negeri, eksekutif, dan lain-lain. Menurut Hendropuspito, meskipun tidak dapat dibuat berdasarkan kedudukan social yang sama, seperti pada lapisan social, penggolongan ini pada dasarnya untuk kepentingan pengamat social alam penelitian-penelitian terhadap masyarakat

Sedangkan Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2000, kira-kira 86,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 5,7% Protestan, 3% Katolik, 1,8% Hindu, dan 3,4% kepercayaan lainnya.

Menurut Hendropuspito, agama adalah suatu jenis system social yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayai dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas umumnya. Dalam kamus sosiologi, pengertian agama ada tiga macam, yaitu :
(1) kepercayaan pada hal-hal yang spiritual;
(2) perangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan   tersendiri;
 (3) ideology mengenai hal-hal yang bersifat supranatural. Sementara itu, Thomas F.O’Dea mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan sarana-sarana supra-empiris untuk maksud-maksud non-empiris atau supra-empiris.

Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”. Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.

Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.

Berdasar sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia.

Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, “Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)”.

v     Islam : Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, dengan 88% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam. Mayoritas Muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia seperti di Jawa dan Sumatera. Masuknya agama islam ke Indonesia melalui perdagangan.
v     Hindu : Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada abad pertama Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan Majapahit.
v     Budha : Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar abad keenam masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu.
v     Kristen Katolik : Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian pertama abad ketujuh di Sumatera Utara. Dan pada abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Katolik di Sumatera Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah.
v     Kristen Protestan : Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC), pada sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mengutuk paham Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang dengan sangat pesat di abad ke-20, yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eopa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda.
v     Konghucu : Agama Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitik beratkan pada kepercayaan dan praktik yang individual.

 B. Fungsi-Fungsi Agam

Agama bukanlah suatu entitas independen yang berdiri sendiri. menurut Thomas F.O’Dea menuliskan enam fungsi agama, yaitu
(1)  sebagai pendukung, pelipur lara, dan perekonsiliasi,
(2)  sarana hubungan transcendental melalui pemujaan dan pacara ibadat,
(3)  penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada,
(4) pengkoreksi fungsi yang ada,
(5) pemberi identitas diri, dan
(6) pendewasaan agama.
Fungsi agama yang dijelaskan hendrapuspito lebih ringkas lagi, tetapi intinya hampir sama. Menurutnya, fungsi agama itu adalah edukatif, penyelamatan, pengawasan social, memupuk persaudaraan dan transformatif.
 Agama terdiri dari berbagai dimensi yang merupakan satu kesatuan. Masing-masingnya tidak dapat berdiri tanpa yang lain. seorang ilmuwan barat menguraikan agama ke dalam lima dimensi komitmen. Seseorang kemudian dapat diklasifikasikan menjadi seorang penganut agama tertentu dengan adanya perilaku dan keyakinan yang merupakan wujud komitmennya. Ketidakutuhan seseorang dalam menjalankan lima dimensi komitmen ini menjadikannya religiusitasnya tidak dapat diakui secara utuh. Kelimanya terdiri dari perbuatan, perkataan, keyakinan, dan sikap yang melambangkan (lambang=simbol) kepatuhan (=komitmen) pada ajaran agama. Agama mengajarkan tentang apa yang benar dan yang salah, serta apa yang baik dan yang buruk.

Agama berasal dari Supra Ultimate Being, bukan dari kebudayaan yang diciptakan oleh seorang atau sejumlah orang. Agama yang benar tidak dirumuskan oleh manusia. Manusia hanya dapat merumuskan kebajikan atau kebijakan, bukan kebenaran. Kebenaran hanyalah berasal dari yang benar yang mengetahui segala sesuatu yang tercipta, yaitu Sang Pencipta itu sendiri. Dan apa yang ada dalam agama selalu berujung pada tujuan yang ideal. Ajaran agama berhulu pada kebenaran dan bermuara pada keselamatan. Ajaran yang ada dalam agama memuat berbagai hal yang harus dilakukan oleh manusia dan tentang hal-hal yang harus dihindarkan. Kepatuhan pada ajaran agama ini akan menghasilkan kondisi ideal.
Mengapa ada yang Takut pada Agama?
Mereka yang sekuler berusaha untuk memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Mereka yang marxis sama sekali melarang agama. Mengapa mereka melakukan hal-hal tersebut? Kemungkinan besarnya adalah karena kebanyakan dari mereka sama sekali kehilangan petunjuk tentang tuntunan apa yang datang dari Tuhan. Entah mereka dibutakan oleh minimnya informasi yang mereka dapatkan, atau mereka memang menutup diri dari segala hal yang berhubungan dengan Tuhan.

Alasan yang seringkali mereka kemukakan adalah agama memicu perbedaan. Perbedaan tersebut menimbulkan konflik. Mereka memiliki orientasi yang terlalu besar pada pemenuhan kebutuhan untuk bersenang-senang, sehingga mereka tidak mau mematuhi ajaran agama yang melarang mereka melakukan hal yang menurutnya menghalangi kesenangan mereka, dan mereka merasionalisasikan perbuatan irasional mereka itu dengan justifikasi sosial-intelektual. Mereka menganggap segi intelektual ataupun sosial memiliki nilai keberhargaan yang lebih. Akibatnya, mereka menutup indera penangkap informasi yang mereka miliki dan hanya mengandalkan intelektualitas yang serba terbatas.

Mereka memahami dunia dalam batas rasio saja. Logika yang mereka miliki begitu terbatasnya, hingga abstraksi realita yang bersifat supra-rasional tidak mereka akui. Dan hasilnya, mereka terpenjara dalam realitas yang serba empiri. Semua harus terukur dan terhitung. Walaupun mereka sampai sekarang masih belum memahami banyaknya fungsi alam yang bekerja dalam mekanisme supra rasional, keterbatasan kerangka berpikir yang mereka miliki menegasikan semua hal yang tidak dapat ditangkap secara inderawi.

Padahal, pembatasan diri dalam realita yang hanya bersifat empiri hanya akan membatasi potensi manusia itu sendiri. Dan hal ini menegasikan tujuan hidup yang selama ini diagungkan para penganut realita rasio-saja, yaitu aktualisasi diri dan segala potensinya.

Agama, dengan sandaran yang kuat pada realitas supra rasional, membebaskan manusia untuk mengambil segala hal yang terbaik yang dapat dihasilkannya dalam hidup. Semua-apakah hal itu bersifat empiri-terukur, maupun yang belum dapat diukur. Empirisme bukanlah suatu hal yang ditolak agama. Agama yang benar, yang bersifat universal, mencakup segi intelektual yang luas, yang diantaranya adalah empirisme. Agama tidak mereduksi intelektualitas manusia dengan membatasi kuantitas maupun kualitas suatu idea. Agama yang benar, memberi petunjuk pada manusia tentang bagaimana potensi manusia dapat dikembangkan dengan sebesar-besarnya. Dan sejarah telah membuktikan hal tersebut.

Kesalahan yang dibuat para penilai agama-lah yang kemudian menyebabkan realita ajaran ideal ini menjadi terlihat buruk. Beberapa peristiwa sejarah yang menonjol mereka identikan sebagai kesalahan karena agama. Karena keyakinan pada ajaran agama. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan adalah justru karena jauhnya orang dari ajaran agama. Kerusakan itu timbul saat agama-yang mengajarkan kemuliaan- disalahgunakan oleh manusia pelaksananya untuk mencapai tujuan yang terlepas dari ajaran agama itu sendiri, terlepas dari pelaksanaan keseluruhan dimensinya.

C. Pengaruh Agama Terhadap Golongan Masyarakat
Untuk mengetahui pengaruh agama terhadap masyarakat, ada tiga aspek yang perlu dipelajari, yaitu kebudayaan, system social dan kepribadian ketiga aspek itu merupakan fenomena social yang prilaku manusia. Maka timbul pertanyaan : sejauh mana fungsi lembaga agama dalam memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan sebagai suatu system? Dan sejauh mana fungsi agama dalam mempertahankan keseimbangan pribadi.
Berkaitan dengan hal ini, Nottingham menjelaskan secara umum tentang hubungan agama dengan masyarakat yang menurutnya, terbagi tipe-tipe. Tampaknya pembagia ini mengikutui konsep August Comte tentang proses tahapan pwembentukan masyarakat. Adapun tipe-tipe yang di maksud Nottingham itu adalah sebagai berikut.
1. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sacral. Tipe masyarakat ini kecil, terisolasi dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga lain yang relative berkembang selain lembaga keluarga, agama menjadi focus utama bagi pengintegrasian dan persatuan masyarakat dari masyatakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, kemungkinan agama memasukan pengaruh yang sacral ke dalam system nilai-nilai masyarakat sangat mutlak.
2. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada system nilai dalam tipe masyarakat ini. Tetapi, pada saat yang sama, lingkungan yang sacral dan yang sekuler sedikit-banyak masih dapat dibedakan. Misalnya, pada fase-fase kehidupan social masih diisi oleh upacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan lain, pada aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung. Agama hanya mendukung masalah adat-istiadat saja.Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan focus utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perseorangan, dan pembentukan citra pribadi mempunyai konsekuensi penting bagi agama.Salah satu akibatnya,anggota masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan metode empiris yang berdasarkan penalaran dan efesiensi dalam menanggapi masalah- masalah kemanusiaan sehingga lingkungan yang bersifat sekuler semakin meluas.
Memiliki karakter-karakter yang dikemukakan Notting ham tersebut,tampaknya pengaruh agama terhadap kehidupan masyarakat, jika dilihat dari karakter masing-masing golongan pekerjaan,tidak akan berbeda jauh dengan pengaruh agama terhadap masyarakat yang digambarkan Notting ham secara umum,karna system masyarakat akan mencerminkan budaya masyarakatnya.
1. Golongan petani.Pada umumnya,golongn petani termasuk masyarakat yang terbelakang.Lokasinya berada didaerah terisolasi system masyarakatnya masih sederhana,lembaga-lembaga sosialnyapun belum banyak berkembang.Mata pencaharian utamanya bergantung pada alam yang tidak bisa dipercepat,diperlamba,atau dperhitungkan secara cermat sesuai dengan keinginan petani.Faktor subur tidaknya tanah,dan sebagainya merupakan faktor-faktor yang brada di luar jangkauan petani oleh sebab itu,mereka mencari kekuatan dan kemampuan di luar dirinya yang dipandang mampu dandapat mengatasi semua persoalan yang telah atau akan menimpa dirinya.Maka,diadakanlah upacara-upacara atau ritus-ritus yang dianggap sebagai tolak bala atau menghormati dewa.Menyediakan sesajen bagi Dewi Sri,yang dipercayai sebagai pelindung sawah dan ladang.
Dengan pengamatan selintas pengaruh agama tehadap golongan petani cukup besar.Jiwa keagamaan mereka relaitf lebih besar karena kedekatannya dengan alam.
2. Golongan nelayan.Karakter pekerja golongan nelayan hampir sama dengan karakter golongan petani.Mata pencahariannya berganyung pada keramahan alam.Jika musimnya sedang bagus,tidak ada badai,boleh jadi tangkapan ikannya melimpah.Biasanya pada waktu-waktu tertentu ada semacam upacara untuk menghormati penguasa laut,yang pada masyarakat Indonesia dikenal sebagai Nyi Roro Kidul.Berdasarkan fakta tersebut,pengaruh agama pada kehidupan nelayan dapat dikatakan signifikan.
3. Golongan pengrajin dan pedagang kecil.Golongan pengrajin dan pedagang kecil hidup dalam situasi yang berbeda dengan golongan petani.Kehidupan golongan ini tidak terlalu berkutat dengan situasi alam dan tidak terlalu bergantung pada alam.Hidup mereka didasarkan atas landasan ekonomi yang memerlukan perhitungan rasional.Mereka tidak menyadarkan diri pada keramahan alam yang tidak bisa dipastikan,tetapi lebih mempercayai perencanaan yang teliti danpengarahan yang pasti.
Menurut Weber yang mempelajari sejarah agama-agama dengan cara yang berlaku pada zamannya,yaitu agma Kristen,Yahudi,Islam,Hindu,Budha,dan konfusianisme,Taoisme golongan pengrajin dan pedagang kecil suka menerima pandangan hidup yang mencakup etika pembalasan. Mereka menaati kaidah moral dan pola sopan santun dan percaya bahwa pekerjaan yang baik dilakukan dengan tekun dan teliti akan membawa balas jasa yang setimpal.
4.  Golongan pedagang besar.Kategori yang paling menonjol dari golongan pedagang besar adalah memiliki sikapnya yang lain terhadap agama.Pada umumnya kelompok ini mempunyai jiwa yang  jauh dari gagasan tentang imbalan jasa (compaintion) moral,seperti yang dimiliki golongan tingkat menengah bawah.mereka lebih berorientasi pada kehidupan nyata (mundane) dan cenderung menutup agama profetis dan etis. Perasaan keagamaannya lebih bersifat fungsional, kemampuan yang mereka miliki terletk pada kekuatan ekonominya.
5.      Golongan kariyawan.Weber menyebut golongan karyawan sebagai kaum birokrat. Hal ini dilihat dari pembagian fungsi-fungsi kerja yang ada sudah jelas dan adanya penyelesaian suatu masalah kemanusiaan berdasarkan penalaran dan efisiensi.
6.     Golongan buruh. Yang dimaksud dengan golongan buruh adalah mereka yang bekerja dalam industri-industri atau perusahan-perusahaan modern. Golongan buruh termasuk kelas proletar yang tidak diikutsertakan dalam kehidupan masyarakat,disingkirkan dari system social yang berlaju.Kelas ini merupakan golongan yang dijadikan sapi perahan untuk meraup keuntungan yang sangat besar oleh kaum borjuis.Agama yang dibutuhkan oleh golongan buruh tampaknya agama yang bisa membebaskan dirinya dari penghisapan tenega kerja segara berlebihan.
7. Golongan tua-muda. Meskipun secara social penggolongan tua muda ini ada, tetapi susah ditentukan batasannya secara praktis. Berdasarkan pengamatan sepintas tersebut, dapat dikatakan bahwa agama pada golongan tua lebih kental dibandingkan dengan golongan muda. Nanun, bila asumsi ini diterapkan pada zaman sekarang, ternyata mengalami kesulitan juga, karena tidak jarang banyak orang yang berumur 40 ke atas berlaku seperti anak muda.
8. Golongan pria-wanita. Secara psikologis, watak umum pria dan wanita berbeda. Dalam menghadapi suatu keadaan, watak pria lebih dominan menggunakan pertimbangan rasional, sedangkan wanita lebih rasa / emosinya.
Jika dlihat secara keseluruhan, tujuan beragama seseorang itu rata-rata untuk nencari ketenangan bathin.Dalam masalah penghayatan keagamaan, tampaknya golongan wanita lebih dominan,karena faktor pembawaan mereka umumnya cenderung emosional.

       D. Peranan Pemimpin Dalam Pembangunan
Tujuan pembangunan pada mulanya sederhana saja, yakni memberantas kemiskinan dan menjembatani kesenjangan. Ketika decade pembangunan dicanangkan oleh perserikatan bangsa-bangsa (PBB), segera setelah perang dunia kedua, masalah yang dihadapi saat itu adalah kehancuran ekonomi dan prasarana dari Negara-negara yang kalah atau menjadi korban peperangan. Oleh karena itu,perhatian ulama pembangunan ditekankan pada rehabilitasi dan rekonstruksi sarana-sarana ekonomi.
Membahas peranan para pemimpin agama dalam kegiatan pembangunan memang sangat menarik, bukan saja lantaran para pemimpin agama merupakan salah satu komponen itu sendiri, melainkan juga pada umumnya pembangunan diorientasikan pada upaya-upaya manusia yang bersifat utuh dan serasi antara kemajuaan aspek lahiriah dan kepuasan aspek bathiniah. Corak pembangunan seperti ini didasarkan pemikiran bahwa keberadaan manusia yang akan dibangun, pada dasarnya, terdiri atas unsure jasmaniah dan unsure ruhaniah. Kedua unsure ini tentu harus terisi dalam proses pembangunan.
Pentingnya keterlibatan para pemimpin agama dalam kegiatan pembangunan ini adalah dalam aspek pembangunan unsure ruhaniahnya, para pemimpin agama dalam kegiatan pembangunan tidak bersifat suplementer (pelengkap penderita), tetapi benar-benar menjadi salah satu komponen inti dalam seluruh proses pembangunan. Dalam pelaksanaanya, bahkan para pemimpin agama dapat berperan lebih luas; bukan hanya terbatas pada pembangunan ruhani masyarakat, tetapi juga dapat berperan sebagai motivator, pembimbing, dan pemberi landasan etis dan moral, serta menjadi mediator dalam seluruh aspek kegiatan pembangunan.
1.       Pemimpin Agama Sebagai Motivator
Tidak dapat di sangkal bahwa peran para pemimpin agama sebagai motivator pembangunan sudah banyak di akui dan terbukti di masyarakat.
Terlibatnya para pemimpin agama dalam kancah kegiatan pembangunan ini, terutama di dorong oleh kesadaran untk ikut secara aktif memikirkan permasalahan-permasalahan duniawi yang sangat kompleks yang dihadapi umat manusia.Begitu kompleksnya permasalahan yang dihadapi manusia di dunia ini sampai pemerintahan sekuler tidak dapat lagi memecahkannya tanpa bantuan dari pihak pemimpin agama, seperti pemberantasan kemiskinan, mengatasu kesenjangan, mencegah kerusakan lingkungan, dan mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia.Tentu para pemimpin agama tidak dapat diam berpangku tangan dengan mengatakan bahwa agama tidak mengurusi permasalahan umat yang bersifat fisik, Agama hanya mengurusi aspek spiritual damn kehidupan manusia, pemikiran seperti ini akan mengakibatkan agama-agama di dunia ini dijauhioleh umat manusia.
Selain itu, para pemimpin agama juga diharapkan mampu merangsang masyarakat agar berani melakukan perubahan-perubahan kehidupan ke arah yang lebih maju dan sejahtera. Para pemimpin agama dapat memberikan semangat kepada masyarakat untuk selalu giat berusaha, jangan sekali-kali untuk bersifat fatalis. Para pemimpin agama seyogianya memberikan wawasan kepada masyarakat bahwa takdir hanyalah batas akhir dari upaya manusia dalam meraih prestasi.Dengan demikian para pemimpin agama telah mampu membuktikan kemampuannya untuk berbicara secara rasional dan tetap membangkitkan gairah serta aksi masyarakat dalam meraih sesuatu yang dicita-citakannya.

       2. Pemimpin Agama Sebagai Pembimbing Moral
Peran kedua yang dimainkan para pemimpin agama di masyarakat dalam kaitannya dengan kegiatan pembangunan adalah peran yang berkaitan dengan upaya-upaya menanamkan prinsip-prinsip etik dan moral masyarakat. Dalam kaitannya, kegiatan pembangunan umumnya selalu menuntut peran aktif para pemimpin agama dalam meletakkan landasan moral, etis, dan spiritual serta peningkatan pengalaman agama, baikdalam kehiduan pribadi maupun social.
Berangkat dari landasan etis dan moral inilah, kegiatan pembangunan lalu diarahkan pada upaya pemulihan harkat dan martabat manusia, harga diri dan kehormatan individu, serta pengakuan atas kedaulatan seseorang atau kelompok untuk mengembangkan diri sesuai dengan keyakinan dan jati diri serta bisikan nuraninya. Di sinilah kemudian nilai-nilai religius yang ditanamkan para pemimpin agama memainkan peranan penting dalam kegiatan pembangunan.
Tuntutan dan patokan yang tertuang dalam kitab suci, teladan para nabi, dan hukum-hukum agama yang merupakan elaborasi dari sabda Tuhan menurut hasil pemikiran para pemuka, pemimpin dan pemikir agama pada masa lalu, mereka jadikan bahan untk membimbing arah kegiatan pembangunan secara menyeluruh.
       3. Pemimpin Agama Sebagai Mediator
Peran lain para pemimpin agama yang tidak kalah pentingnya, juga dalam kaitannya dengan kegiatan pembangunan di masyarakat adalah sebagai wakil masyarakat dan seagai pengantar dalam menjalin kerja sama yang harmonis di antara banyak pihak dalam rangka melindungi kepentingan-kepentingannya di masyarakat dan lembaga-lembaga keagamaan yang dipimpinnya.
Untuk membela kepentingan-kepentingan ini, para pemimpin agama biasanya memposisikan diri sebagai mediator di antara beberapa pihak di masyarakat, seperti antara masyarakat dengan elite pengusaha dan antara masyarakat miskin dengan kelompok orang-orang kaya. Melalui pemimpin agama, para elite pengusaha dapat memahami apa yang diinginkan masyarakat, dan sebaliknya elite pengusaha dapat mensosialisasikan program-programnya kepada masyarakat luas melalui bantuan para pemimpin agama.
Munculnya kerja sama antara para pemimpin agama di satu pihak dengn kalangan kaya dan penguasa di pihak lain merupakan fenomena social yang umum terjadi di kalangan umat beragama. Dari sudut formal keagamaan, kerja sama para pemimpin keagamaan dengan kalangan hartawan dan dan penguasa ini memang tidak dapat apa-apa. Sebab, sesunggguhnya kerja sama para pemimpin agama dengan kalangan kaya dan penguasa, pada prinsipnya, tidak bisa di nilai buruk.agama bagaimanapun, merupakan rahmat bagi segenap manusia, tak peduli miskin atau kaya, penguasa atau rakyat jelata,di sinilah pemimpin agama menyadari bahwakerja sama mereka tidak lain adalah untuk kepentingan menegakkan keadilan social dan untuk membeli kepentingan orang-orang kecil.



E. Pelembagaan Agama

Sebenarnya apa yang dimaksud dengan agama? Kami mengurapamakan sebagai sebuah telepon. Jika manusia adalah suatu pesawat telepon, maka agama adalah media perantara seperti kabel telepon untuk dapat menghubungkan pesawat telepon kita dengan Telkom atau dalam hal ini Tuhan. Lembaga agama adalah suatu organisasi, yang disahkan oleh pemerintah dan berjalan menurut keyakinan yang dianut oleh masing-masing agama. Penduduk Indonesia pada umumnya telah menjadi penganut formal salah satu dari lima agama resmi yang diakui pemerintah. Lembaga-lembaga keagamaan patut bersyukur atas kenyataan itu. Namun nampaknya belum bisa berbangga. Perpindahan penganut agama suku ke salah satu agama resmi itu banyak yang tidak murni.

Sejarah mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab terpaksa. Pemaksaan terjadi melalui “perselingkuhan” antara lembaga agama dengan lembaga kekuasaan. Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh ketentraman sedangkan lembaga agama membutuhkan penganut atau pengikut. Kerjasama (atau lebih tepat disebut saling memanfaatkan) itu terjadi sejak dahulu kala. Para penyiar agama sering membonceng pada suatu kekuasaan (kebetulan menjadi penganut agama tersebut) yang mengadakan invansi ke daerah lain. Penduduk daerah atau negara yang baru ditaklukkan itu dipaksa (suka atau tidak suka) menjadi penganut agama penguasa baru.

Kasus-kasus itu tidak hanya terjadi di Indonesia atau Asia dan Afrika pada umumnya tetapi juga terjadi di Eropa pada saat agama monoteis mulai diperkenalkan. Di Indonesia “tradisi” saling memanfaatkan berlanjut pada zaman orde Baru.Pemerintah orde baru tidak mengenal penganut di luar lima agama resmi. Inilah pemaksaan tahap kedua. Penganut di luar lima agama resmi, termasuk penganut agama suku, terpaksa memilih salah satu dari lima agama resmi versi pemerintah. Namun ternyata masalah belum selesai. Kenyataannya banyak orang yang menjadi penganut suatu agama tetapi hanya sebagai formalitas belaka. Dampak keadaan demikian terhadap kehidupan keberagaan di Indonesia sangat besar. Para penganut yang formalitas itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih banyak mempraktekkan ajaran agam suku, yang dianut sebelumnya, daripada agama barunya. Pra rohaniwan agama monoteis, umumnya mempunyai sikap bersebrangan dengan prak keagamaan demikian. Lagi pula pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai kekafiran. Berbagai cara telah dilakukan supaya praktek agama suku ditinggalkan, misalnya pemberlakukan siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya tidak terlalu efektif. Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya semakin berkurang tetapi kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di desadesa.

Demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi para pelaku pariwisata, maka upacarav-upacara adat yang notabene adalah upacara agama suku mulai dihidupkan di daerah-daerah. Upacara-upacara agama sukuyang selama ini ditekan dan dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan tumbuhan yang mendapat siraman air dan pupuk yang segar. Anehnya sebab bukan hanya orang yang masih tinggal di kampung yang menyambut angin segar itu dengan antusias tetapi ternyata orang yang lama tinggal di kotapun menyambutnya dengan semangat membara. Bahkan di kota-kotapun sering ditemukan praktek hidup yang sebenarnya berakar dalam agama suku. Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim sebagai hari baik untuk melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin menarik sebab mereka itu pada umumnya merupakan pemeluk yang “ fanatik” dari salah satu agama monoteis bahkan pejabat atau pimpinan agama.





BAB III
PENUTUP
                  A.     Kesimpulan
Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agamanya para tasauf.
Bukti di atas sampai pada pendapat bahwa agama merupakan tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial, dan individu dengan masyarakat seharusnyalah tidak bersifat antagonis.

                  B.     Saran
Dengan dibuat nya makalah ini kami mengharapkan kepada pembaca agar bisa memahami dan  dapat  menerangkan hubungan  antara agama dan masyarakat