Hubungan agama dan masyarakat
“Dalam rangka memenuhi
tugas ilmu sosial dasar”
Dosen Pengampu : Nana Sudiana, S.IP
DISUSUN OLEH:
Nama : Muhammad Ridwan
Nim : 010111a076
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN STIKES NGUDI WALUYO UNGARAN
2011/2012
KATA PENGANTAR
Segala
puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini
tepat waktu.
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial Dasar yang diberikan
oleh Nana
Sudiana S.IP dengan topik hubungan
antara Masyarakat Dengan Agama
Kami
menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah yang kami susun. Maka dari
itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak demi
terciptanya kesempurnaan dalam makalah ini.
Semoga
dengan disusunnya makalah ini dapat memberikan manfaat terutama dalam menambah
pengetahuan dan pemahaman terhadap materi Ilmu Sosial Dasar, khususnya bagi pembaca
dan rekan-rekan pada umumnya.
Semarang, Mei 2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dilihat dari segi Agama dan Budaya yang masing – masing
memiliki keeratan satu sama lain, sering kali banyak di salah artikan oleh
orang – orang yang belum memahami bagaimana menempatkan posisi Agama dan posisi
Budaya pada suatu kehidupan.
Dalam kehidupan bermasyarakat agama sangat
berperan penting dalam masyarakat, untuk mengatasi prsoalan-persoalan yang
timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena adanya
keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian.
Saat
ini masih ada segelintir masyarakat yang mencampur adukkan nilai – nilai Agama
dengan nilai – nilai Budaya yang padahal kedua hal tersebut tentu saja tidak
dapat seratus persen disamakan, bahkan mungkin berlawanan.
Demi terjaganya esistensi dan kesucian nilai – nilai agama
sekaligus memberi pengertian, disini penulis hendak mengulas mengenai Apa itu
Agama dan Apa itu Budaya, yang tersusun berbentuk makalah dengan judul “Agama
dan Budaya”. Penulis berharap apa yang diulas, nanti dapat menjadi paduan
pembaca dalam mengaplikasikan serta dapat membandingkan antara Agama dan
Budaya.
1.2
Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tangung jawab sebagai
mahasiswa. Selain itu di harapkan pembaca bisa menganalisa pentingnya
nilai-nilai agama dalam suatu budaya/masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Agama Dan Masyarakat
Masyarakat adalah suatu sistem sosial yang menghasilkan
kebudayaan (Soerjono Soekanto, 1983). Sedangkan agama menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga
disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepercayaan tersebut.
golongan masyarakat
dapat diartikan sebagai penggolongan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu
kelompok yang mempunyai karakteristik yang sama atau sejenis. Dalam kamus sosiologi
dinyatakan sebagai kategori orang-orang tertentu, dalam suatu masyarakat yang
didasarkan pada cirri-ciri mental tertentu Berdasarkan definisi di atas,
penggolongan masyarakat dapat dibuat berdasarkan ciri yang sama. Misalnya,
(1) penggolongan
berdasarkan jenis kelamin adalah pria dan wanita;
(2) penggolongan berdasarkan usia adalah tua
dan muda;
(3) penggolongan
berdasarkan pendidikan adalah cendekia dan buta huruf;
(4) penggolongan
berdasarkan pekerjaan adalah petani, nelayan, golongan buruh, pengrajin,
pegawai negeri, eksekutif, dan lain-lain. Menurut Hendropuspito, meskipun tidak
dapat dibuat berdasarkan kedudukan social yang sama, seperti pada lapisan
social, penggolongan ini pada dasarnya untuk kepentingan pengamat social alam
penelitian-penelitian terhadap masyarakat
Sedangkan Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam
kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia,
Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh
secara kolektif terhadap politik, ekonomi dan budaya. Di tahun 2000, kira-kira
86,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 5,7% Protestan,
3% Katolik, 1,8% Hindu, dan 3,4% kepercayaan lainnya.
Menurut
Hendropuspito, agama adalah suatu jenis system social yang dibuat oleh
penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang
dipercayai dan didayagunakan untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan
masyarakat luas umumnya. Dalam kamus sosiologi, pengertian agama ada
tiga macam, yaitu :
(1)
kepercayaan pada hal-hal yang spiritual;
(2)
perangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai
tujuan tersendiri;
(3) ideology mengenai hal-hal yang bersifat
supranatural. Sementara itu, Thomas F.O’Dea mengatakan bahwa agama adalah
pendayagunaan sarana-sarana supra-empiris untuk maksud-maksud non-empiris atau
supra-empiris.
Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan
kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin
semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”.
Pemerintah, bagaimanapun, secara resmi hanya mengakui enam agama, yakni Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.
Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di
Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu,
kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar
kelompok maupun golongan. Program transmigrasi secara tidak langsung telah
menyebabkan sejumlah konflik di wilayah timur Indonesia.
Berdasar sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong
utama keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri dengan pendatang dari India,
Tiongkok, Portugal, Arab, dan Belanda. Bagaimanapun, hal ini sudah berubah
sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia.
Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun
1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1,
“Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)”.
v Islam : Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim
terbanyak di dunia, dengan 88% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran
Islam. Mayoritas Muslim dapat dijumpai di wilayah barat Indonesia seperti di
Jawa dan Sumatera. Masuknya agama islam ke Indonesia melalui perdagangan.
v Hindu : Kebudayaan dan agama Hindu tiba di Indonesia pada
abad pertama Masehi, bersamaan waktunya dengan kedatangan agama Buddha, yang
kemudian menghasilkan sejumlah kerajaan Hindu-Buddha seperti Kutai, Mataram dan
Majapahit.
v Budha : Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia,
tiba pada sekitar abad keenam masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan
erat dengan sejarah Hindu.
v Kristen Katolik : Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk
ke Indonesia pada bagian pertama abad ketujuh di Sumatera Utara. Dan pada abad
ke-14 dan ke-15 telah ada umat Katolik di Sumatera Selatan. Kristen Katolik
tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti bangsa
Spanyol yang berdagang rempah-rempah.
v Kristen Protestan : Kristen Protestan berkembang di
Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC), pada sekitar abad ke-16.
Kebijakan VOC yang mengutuk paham Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan
jumlah penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang dengan
sangat pesat di abad ke-20, yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari
Eopa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih
sedikit di kepulauan Sunda.
v Konghucu : Agama Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang
dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga
Masehi, orang Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama yang
lain, Konghucu lebih menitik beratkan pada kepercayaan dan praktik yang
individual.
B.
Fungsi-Fungsi Agam
Agama
bukanlah suatu entitas independen yang berdiri sendiri. menurut
Thomas F.O’Dea menuliskan enam fungsi agama, yaitu
(1) sebagai pendukung, pelipur lara, dan
perekonsiliasi,
(2) sarana hubungan transcendental melalui
pemujaan dan pacara ibadat,
(3) penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah
ada,
(4) pengkoreksi
fungsi yang ada,
(5) pemberi identitas
diri, dan
(6) pendewasaan
agama.
Fungsi
agama yang
dijelaskan hendrapuspito lebih ringkas lagi, tetapi intinya hampir sama.
Menurutnya, fungsi agama itu adalah edukatif, penyelamatan, pengawasan social,
memupuk persaudaraan dan transformatif.
Agama terdiri dari
berbagai dimensi yang merupakan satu kesatuan. Masing-masingnya tidak dapat
berdiri tanpa yang lain. seorang ilmuwan barat menguraikan agama ke dalam lima
dimensi komitmen. Seseorang kemudian dapat diklasifikasikan menjadi seorang
penganut agama tertentu dengan adanya perilaku dan keyakinan yang merupakan
wujud komitmennya. Ketidakutuhan seseorang dalam menjalankan lima dimensi
komitmen ini menjadikannya religiusitasnya tidak dapat diakui secara utuh.
Kelimanya terdiri dari perbuatan, perkataan, keyakinan, dan sikap yang
melambangkan (lambang=simbol) kepatuhan (=komitmen) pada ajaran agama. Agama
mengajarkan tentang apa yang benar dan yang salah, serta apa yang baik dan yang
buruk.
Agama berasal dari Supra Ultimate Being, bukan dari
kebudayaan yang diciptakan oleh seorang atau sejumlah orang. Agama yang benar
tidak dirumuskan oleh manusia. Manusia hanya dapat merumuskan kebajikan atau
kebijakan, bukan kebenaran. Kebenaran hanyalah berasal dari yang benar yang
mengetahui segala sesuatu yang tercipta, yaitu Sang Pencipta itu sendiri. Dan
apa yang ada dalam agama selalu berujung pada tujuan yang ideal. Ajaran agama
berhulu pada kebenaran dan bermuara pada keselamatan. Ajaran yang ada dalam
agama memuat berbagai hal yang harus dilakukan oleh manusia dan tentang hal-hal
yang harus dihindarkan. Kepatuhan pada ajaran agama ini akan menghasilkan
kondisi ideal.
Mengapa
ada yang Takut pada Agama?
Mereka yang sekuler berusaha untuk memisahkan agama dari
kehidupan sehari-hari. Mereka yang marxis sama sekali melarang agama. Mengapa
mereka melakukan hal-hal tersebut? Kemungkinan besarnya adalah karena
kebanyakan dari mereka sama sekali kehilangan petunjuk tentang tuntunan apa
yang datang dari Tuhan. Entah mereka dibutakan oleh minimnya informasi yang
mereka dapatkan, atau mereka memang menutup diri dari segala hal yang
berhubungan dengan Tuhan.
Alasan yang seringkali mereka kemukakan adalah agama memicu
perbedaan. Perbedaan tersebut menimbulkan konflik. Mereka memiliki orientasi
yang terlalu besar pada pemenuhan kebutuhan untuk bersenang-senang, sehingga
mereka tidak mau mematuhi ajaran agama yang melarang mereka melakukan hal yang
menurutnya menghalangi kesenangan mereka, dan mereka merasionalisasikan
perbuatan irasional mereka itu dengan justifikasi sosial-intelektual. Mereka
menganggap segi intelektual ataupun sosial memiliki nilai keberhargaan yang
lebih. Akibatnya, mereka menutup indera penangkap informasi yang mereka miliki
dan hanya mengandalkan intelektualitas yang serba terbatas.
Mereka memahami dunia dalam batas rasio saja. Logika yang
mereka miliki begitu terbatasnya, hingga abstraksi realita yang bersifat supra-rasional
tidak mereka akui. Dan hasilnya, mereka terpenjara dalam realitas yang serba
empiri. Semua harus terukur dan terhitung. Walaupun mereka sampai sekarang
masih belum memahami banyaknya fungsi alam yang bekerja dalam mekanisme supra
rasional, keterbatasan kerangka berpikir yang mereka miliki menegasikan semua
hal yang tidak dapat ditangkap secara inderawi.
Padahal, pembatasan diri dalam realita yang hanya bersifat
empiri hanya akan membatasi potensi manusia itu sendiri. Dan hal ini
menegasikan tujuan hidup yang selama ini diagungkan para penganut realita
rasio-saja, yaitu aktualisasi diri dan segala potensinya.
Agama, dengan sandaran yang kuat pada realitas supra
rasional, membebaskan manusia untuk mengambil segala hal yang terbaik yang
dapat dihasilkannya dalam hidup. Semua-apakah hal itu bersifat empiri-terukur,
maupun yang belum dapat diukur. Empirisme bukanlah suatu hal yang ditolak
agama. Agama yang benar, yang bersifat universal, mencakup segi intelektual
yang luas, yang diantaranya adalah empirisme. Agama tidak mereduksi
intelektualitas manusia dengan membatasi kuantitas maupun kualitas suatu idea.
Agama yang benar, memberi petunjuk pada manusia tentang bagaimana potensi
manusia dapat dikembangkan dengan sebesar-besarnya. Dan sejarah telah
membuktikan hal tersebut.
Kesalahan yang dibuat para penilai agama-lah yang kemudian
menyebabkan realita ajaran ideal ini menjadi terlihat buruk. Beberapa peristiwa
sejarah yang menonjol mereka identikan sebagai kesalahan karena agama. Karena
keyakinan pada ajaran agama. Padahal, kerusakan yang ditimbulkan adalah justru
karena jauhnya orang dari ajaran agama. Kerusakan itu timbul saat agama-yang
mengajarkan kemuliaan- disalahgunakan oleh manusia pelaksananya untuk mencapai
tujuan yang terlepas dari ajaran agama itu sendiri, terlepas dari pelaksanaan
keseluruhan dimensinya.
C. Pengaruh Agama
Terhadap Golongan Masyarakat
Untuk mengetahui
pengaruh agama terhadap masyarakat, ada tiga aspek yang perlu dipelajari, yaitu
kebudayaan, system social dan kepribadian ketiga aspek itu merupakan fenomena
social yang prilaku manusia. Maka timbul pertanyaan : sejauh mana fungsi
lembaga agama dalam memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan
sebagai suatu system? Dan sejauh mana fungsi agama dalam mempertahankan
keseimbangan pribadi.
Berkaitan dengan hal
ini, Nottingham menjelaskan secara umum tentang hubungan agama dengan
masyarakat yang menurutnya, terbagi tipe-tipe. Tampaknya pembagia ini
mengikutui konsep August Comte tentang proses tahapan pwembentukan masyarakat.
Adapun tipe-tipe yang di maksud Nottingham itu adalah sebagai berikut.
1. Masyarakat yang
terbelakang dan nilai-nilai sacral. Tipe masyarakat ini kecil, terisolasi dan
terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga
lain yang relative berkembang selain lembaga keluarga, agama menjadi focus
utama bagi pengintegrasian dan persatuan masyarakat dari masyatakat secara
keseluruhan. Oleh karena itu, kemungkinan agama memasukan pengaruh yang sacral
ke dalam system nilai-nilai masyarakat sangat mutlak.
2. Masyarakat
praindustri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada
perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama
memberikan arti dan ikatan kepada system nilai dalam tipe masyarakat ini.
Tetapi, pada saat yang sama, lingkungan yang sacral dan yang sekuler
sedikit-banyak masih dapat dibedakan. Misalnya, pada fase-fase kehidupan social
masih diisi oleh upacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan lain, pada
aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung. Agama hanya mendukung masalah
adat-istiadat saja.Nilai-nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan focus
utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perseorangan, dan pembentukan citra
pribadi mempunyai konsekuensi penting bagi agama.Salah satu akibatnya,anggota
masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan metode empiris yang berdasarkan
penalaran dan efesiensi dalam menanggapi masalah- masalah kemanusiaan sehingga
lingkungan yang bersifat sekuler semakin meluas.
Memiliki karakter-karakter yang dikemukakan Notting ham tersebut,tampaknya
pengaruh agama
terhadap kehidupan masyarakat, jika dilihat dari karakter masing-masing golongan pekerjaan,tidak akan
berbeda jauh dengan pengaruh agama terhadap masyarakat yang digambarkan Notting
ham secara umum,karna system masyarakat akan mencerminkan budaya masyarakatnya.
1. Golongan petani.Pada umumnya,golongn petani termasuk masyarakat yang
terbelakang.Lokasinya berada didaerah terisolasi system masyarakatnya masih sederhana,lembaga-lembaga
sosialnyapun belum banyak berkembang.Mata pencaharian utamanya bergantung pada
alam yang tidak bisa dipercepat,diperlamba,atau dperhitungkan secara cermat
sesuai dengan keinginan petani.Faktor subur tidaknya tanah,dan sebagainya merupakan
faktor-faktor yang brada di luar jangkauan petani oleh sebab itu,mereka mencari
kekuatan dan kemampuan di luar dirinya yang dipandang mampu dandapat mengatasi
semua persoalan yang telah atau akan menimpa dirinya.Maka,diadakanlah
upacara-upacara atau ritus-ritus yang dianggap sebagai tolak bala atau
menghormati dewa.Menyediakan sesajen bagi Dewi Sri,yang dipercayai sebagai
pelindung sawah dan ladang.
Dengan pengamatan
selintas pengaruh agama tehadap golongan petani cukup besar.Jiwa keagamaan
mereka relaitf lebih besar karena kedekatannya dengan alam.
2. Golongan nelayan.Karakter
pekerja golongan nelayan hampir sama dengan karakter golongan petani.Mata
pencahariannya berganyung pada keramahan alam.Jika musimnya sedang bagus,tidak
ada badai,boleh jadi tangkapan ikannya melimpah.Biasanya pada waktu-waktu
tertentu ada semacam upacara untuk menghormati penguasa laut,yang pada
masyarakat Indonesia dikenal sebagai Nyi Roro Kidul.Berdasarkan fakta
tersebut,pengaruh agama pada kehidupan nelayan dapat dikatakan signifikan.
3. Golongan pengrajin
dan pedagang kecil.Golongan pengrajin dan pedagang kecil hidup dalam situasi
yang berbeda dengan golongan petani.Kehidupan golongan ini tidak terlalu
berkutat dengan situasi alam dan tidak terlalu bergantung pada alam.Hidup
mereka didasarkan atas landasan ekonomi yang memerlukan perhitungan
rasional.Mereka tidak menyadarkan diri pada keramahan alam yang tidak bisa
dipastikan,tetapi lebih mempercayai perencanaan yang teliti danpengarahan yang
pasti.
Menurut Weber yang
mempelajari sejarah agama-agama dengan cara yang berlaku pada zamannya,yaitu
agma Kristen,Yahudi,Islam,Hindu,Budha,dan konfusianisme,Taoisme golongan
pengrajin dan pedagang kecil suka menerima pandangan hidup yang mencakup etika
pembalasan. Mereka menaati kaidah moral dan pola sopan santun dan percaya bahwa
pekerjaan yang baik dilakukan dengan tekun dan teliti akan membawa balas jasa
yang setimpal.
4. Golongan pedagang
besar.Kategori yang paling menonjol dari golongan pedagang besar adalah
memiliki sikapnya yang lain terhadap agama.Pada umumnya kelompok ini mempunyai
jiwa yang jauh dari gagasan tentang imbalan jasa (compaintion) moral,seperti yang
dimiliki golongan tingkat menengah bawah.mereka lebih berorientasi pada
kehidupan nyata (mundane) dan cenderung menutup agama profetis dan etis.
Perasaan keagamaannya lebih bersifat fungsional, kemampuan yang mereka miliki
terletk pada kekuatan ekonominya.
5. Golongan
kariyawan.Weber menyebut golongan karyawan sebagai kaum birokrat. Hal ini
dilihat dari pembagian fungsi-fungsi kerja yang ada sudah jelas dan adanya
penyelesaian suatu masalah kemanusiaan berdasarkan penalaran dan efisiensi.
6. Golongan buruh. Yang
dimaksud dengan golongan buruh adalah mereka yang bekerja dalam
industri-industri atau perusahan-perusahaan modern. Golongan buruh termasuk
kelas proletar yang tidak diikutsertakan dalam kehidupan
masyarakat,disingkirkan dari system social yang berlaju.Kelas ini merupakan
golongan yang dijadikan sapi perahan untuk meraup keuntungan yang sangat besar
oleh kaum borjuis.Agama yang dibutuhkan oleh golongan buruh tampaknya agama
yang bisa membebaskan dirinya dari penghisapan tenega kerja segara berlebihan.
7. Golongan tua-muda.
Meskipun secara social penggolongan tua muda ini ada, tetapi susah ditentukan
batasannya secara praktis. Berdasarkan pengamatan sepintas tersebut, dapat
dikatakan bahwa agama pada golongan tua lebih kental dibandingkan dengan
golongan muda. Nanun, bila asumsi ini diterapkan pada zaman sekarang, ternyata
mengalami kesulitan juga, karena tidak jarang banyak orang yang berumur 40 ke
atas berlaku seperti anak muda.
8. Golongan pria-wanita.
Secara psikologis, watak umum pria dan wanita berbeda. Dalam menghadapi suatu
keadaan, watak pria lebih dominan menggunakan pertimbangan rasional, sedangkan
wanita lebih rasa / emosinya.
Jika dlihat secara keseluruhan, tujuan beragama seseorang itu rata-rata
untuk nencari ketenangan bathin.Dalam masalah penghayatan keagamaan, tampaknya
golongan wanita lebih dominan,karena faktor pembawaan mereka umumnya cenderung
emosional.
D. Peranan Pemimpin
Dalam Pembangunan
Tujuan pembangunan
pada mulanya sederhana saja, yakni memberantas kemiskinan dan menjembatani
kesenjangan. Ketika decade pembangunan dicanangkan oleh perserikatan
bangsa-bangsa (PBB), segera setelah perang dunia kedua, masalah yang dihadapi
saat itu adalah kehancuran ekonomi dan prasarana dari Negara-negara yang kalah
atau menjadi korban peperangan. Oleh karena itu,perhatian ulama pembangunan
ditekankan pada rehabilitasi dan rekonstruksi sarana-sarana ekonomi.
Membahas peranan para pemimpin agama dalam kegiatan
pembangunan memang sangat menarik, bukan saja lantaran para pemimpin agama
merupakan salah satu komponen itu sendiri, melainkan juga pada umumnya
pembangunan diorientasikan pada upaya-upaya manusia yang bersifat utuh dan
serasi antara kemajuaan aspek lahiriah dan kepuasan aspek bathiniah. Corak
pembangunan seperti ini didasarkan pemikiran bahwa keberadaan manusia yang akan
dibangun, pada dasarnya, terdiri atas unsure jasmaniah dan unsure ruhaniah.
Kedua unsure ini tentu harus terisi dalam proses pembangunan.
Pentingnya
keterlibatan para pemimpin agama dalam kegiatan pembangunan ini adalah dalam
aspek pembangunan unsure ruhaniahnya, para pemimpin agama dalam kegiatan
pembangunan tidak bersifat suplementer (pelengkap penderita), tetapi
benar-benar menjadi salah satu komponen inti dalam seluruh proses pembangunan.
Dalam pelaksanaanya, bahkan para pemimpin agama dapat berperan lebih luas;
bukan hanya terbatas pada pembangunan ruhani masyarakat, tetapi juga dapat
berperan sebagai motivator, pembimbing, dan pemberi landasan etis dan moral,
serta menjadi mediator dalam seluruh aspek kegiatan pembangunan.
1. Pemimpin
Agama Sebagai Motivator
Tidak dapat di sangkal bahwa peran para
pemimpin agama sebagai motivator pembangunan sudah banyak di akui dan terbukti
di masyarakat.
Terlibatnya para pemimpin agama dalam
kancah kegiatan pembangunan ini, terutama di dorong oleh kesadaran untk ikut
secara aktif memikirkan permasalahan-permasalahan duniawi yang sangat kompleks
yang dihadapi umat manusia.Begitu kompleksnya permasalahan yang dihadapi
manusia di dunia ini sampai pemerintahan sekuler tidak dapat lagi memecahkannya
tanpa bantuan dari pihak pemimpin agama, seperti pemberantasan kemiskinan,
mengatasu kesenjangan, mencegah kerusakan lingkungan, dan mencegah terjadinya
pelanggaran terhadap hak asasi manusia.Tentu para pemimpin agama tidak dapat
diam berpangku tangan dengan mengatakan bahwa agama tidak mengurusi
permasalahan umat yang bersifat fisik, Agama hanya mengurusi aspek spiritual
damn kehidupan manusia, pemikiran seperti ini akan mengakibatkan agama-agama di
dunia ini dijauhioleh umat manusia.
Selain itu, para pemimpin agama juga
diharapkan mampu merangsang masyarakat agar berani melakukan perubahan-perubahan
kehidupan ke arah yang lebih maju dan sejahtera. Para pemimpin agama dapat
memberikan semangat kepada masyarakat untuk selalu giat berusaha, jangan
sekali-kali untuk bersifat fatalis. Para pemimpin agama seyogianya memberikan
wawasan kepada masyarakat bahwa takdir hanyalah batas akhir dari upaya manusia
dalam meraih prestasi.Dengan demikian para pemimpin agama telah mampu
membuktikan kemampuannya untuk berbicara secara rasional dan tetap
membangkitkan gairah serta aksi masyarakat dalam meraih sesuatu yang
dicita-citakannya.
2. Pemimpin Agama
Sebagai Pembimbing Moral
Peran
kedua yang dimainkan para pemimpin agama di masyarakat dalam kaitannya dengan
kegiatan pembangunan adalah peran yang berkaitan dengan upaya-upaya menanamkan
prinsip-prinsip etik dan moral masyarakat. Dalam kaitannya, kegiatan
pembangunan umumnya selalu menuntut peran aktif para pemimpin agama dalam
meletakkan landasan moral, etis, dan spiritual serta peningkatan pengalaman
agama, baikdalam kehiduan pribadi maupun social.
Berangkat
dari landasan etis dan moral inilah, kegiatan pembangunan lalu diarahkan pada
upaya pemulihan harkat dan martabat manusia, harga diri dan kehormatan
individu, serta pengakuan atas kedaulatan seseorang atau kelompok untuk
mengembangkan diri sesuai dengan keyakinan dan jati diri serta bisikan
nuraninya. Di sinilah kemudian nilai-nilai religius yang ditanamkan para
pemimpin agama memainkan peranan penting dalam kegiatan pembangunan.
Tuntutan
dan patokan yang tertuang dalam kitab suci, teladan para nabi, dan hukum-hukum
agama yang merupakan elaborasi dari sabda Tuhan menurut hasil pemikiran para
pemuka, pemimpin dan pemikir agama pada masa lalu, mereka jadikan bahan untk
membimbing arah kegiatan pembangunan secara menyeluruh.
3. Pemimpin Agama
Sebagai Mediator
Peran
lain para pemimpin agama yang tidak kalah pentingnya, juga dalam kaitannya
dengan kegiatan pembangunan di masyarakat adalah sebagai wakil masyarakat dan
seagai pengantar dalam menjalin kerja sama yang harmonis di antara banyak pihak
dalam rangka melindungi kepentingan-kepentingannya di masyarakat dan
lembaga-lembaga keagamaan yang dipimpinnya.
Untuk
membela kepentingan-kepentingan ini, para pemimpin agama biasanya memposisikan
diri sebagai mediator di antara beberapa pihak di masyarakat, seperti antara
masyarakat dengan elite pengusaha dan antara masyarakat miskin dengan kelompok
orang-orang kaya. Melalui pemimpin agama, para elite pengusaha dapat memahami
apa yang diinginkan masyarakat, dan sebaliknya elite pengusaha dapat
mensosialisasikan program-programnya kepada masyarakat luas melalui bantuan
para pemimpin agama.
Munculnya
kerja sama antara para pemimpin agama di satu pihak dengn kalangan kaya dan
penguasa di pihak lain merupakan fenomena social yang umum terjadi di kalangan
umat beragama. Dari sudut formal keagamaan, kerja sama para pemimpin keagamaan
dengan kalangan hartawan dan dan penguasa ini memang tidak dapat apa-apa.
Sebab, sesunggguhnya kerja sama para pemimpin agama dengan kalangan kaya dan
penguasa, pada prinsipnya, tidak bisa di nilai buruk.agama bagaimanapun,
merupakan rahmat bagi segenap manusia, tak peduli miskin atau kaya, penguasa
atau rakyat jelata,di sinilah pemimpin agama menyadari bahwakerja sama mereka
tidak lain adalah untuk kepentingan menegakkan keadilan social dan untuk
membeli kepentingan orang-orang kecil.
E.
Pelembagaan Agama
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan agama? Kami
mengurapamakan sebagai sebuah telepon. Jika manusia adalah suatu pesawat
telepon, maka agama adalah media perantara seperti kabel telepon untuk dapat
menghubungkan pesawat telepon kita dengan Telkom atau dalam hal ini Tuhan.
Lembaga agama adalah suatu organisasi, yang disahkan oleh pemerintah dan
berjalan menurut keyakinan yang dianut oleh masing-masing agama. Penduduk
Indonesia pada umumnya telah menjadi penganut formal salah satu dari lima agama
resmi yang diakui pemerintah. Lembaga-lembaga keagamaan patut bersyukur atas
kenyataan itu. Namun nampaknya belum bisa berbangga. Perpindahan penganut agama
suku ke salah satu agama resmi itu banyak yang tidak murni.
Sejarah mencatat bahwa tidak jarang terjadi peralihan sebab
terpaksa. Pemaksaan terjadi melalui “perselingkuhan” antara lembaga agama
dengan lembaga kekuasaan. Keduanya mempunyai kepentingan. Pemerintah butuh
ketentraman sedangkan lembaga agama membutuhkan penganut atau pengikut.
Kerjasama (atau lebih tepat disebut saling memanfaatkan) itu terjadi sejak
dahulu kala. Para penyiar agama sering membonceng pada suatu kekuasaan
(kebetulan menjadi penganut agama tersebut) yang mengadakan invansi ke daerah
lain. Penduduk daerah atau negara yang baru ditaklukkan itu dipaksa (suka atau
tidak suka) menjadi penganut agama penguasa baru.
Kasus-kasus itu tidak hanya terjadi di Indonesia atau Asia
dan Afrika pada umumnya tetapi juga terjadi di Eropa pada saat agama monoteis
mulai diperkenalkan. Di Indonesia “tradisi” saling memanfaatkan berlanjut pada
zaman orde Baru.Pemerintah orde baru tidak mengenal penganut di luar lima agama
resmi. Inilah pemaksaan tahap kedua. Penganut di luar lima agama resmi,
termasuk penganut agama suku, terpaksa memilih salah satu dari lima agama resmi
versi pemerintah. Namun ternyata masalah belum selesai. Kenyataannya banyak
orang yang menjadi penganut suatu agama tetapi hanya sebagai formalitas belaka.
Dampak keadaan demikian terhadap kehidupan keberagaan di Indonesia sangat
besar. Para penganut yang formalitas itu, dalam kehidupan kesehariannya lebih
banyak mempraktekkan ajaran agam suku, yang dianut sebelumnya, daripada agama barunya.
Pra rohaniwan agama monoteis, umumnya mempunyai sikap bersebrangan dengan prak
keagamaan demikian. Lagi pula pengangut agama suku umumnya telah dicap sebagai
kekafiran. Berbagai cara telah dilakukan supaya praktek agama suku
ditinggalkan, misalnya pemberlakukan siasat/disiplin gerejawi. Namun nampaknya
tidak terlalu efektif. Upacara-upacara yang bernuansa agama suku bukannya
semakin berkurang tetapi kelihatannya semakin marak di mana-mana terutama di
desadesa.
Demi pariwisata yang mendatangkan banyak uang bagi para
pelaku pariwisata, maka upacarav-upacara adat yang notabene adalah upacara
agama suku mulai dihidupkan di daerah-daerah. Upacara-upacara agama sukuyang
selama ini ditekan dan dimarjinalisasikan tumbuh sangat subur bagaikan tumbuhan
yang mendapat siraman air dan pupuk yang segar. Anehnya sebab bukan hanya orang
yang masih tinggal di kampung yang menyambut angin segar itu dengan antusias
tetapi ternyata orang yang lama tinggal di kotapun menyambutnya dengan semangat
membara. Bahkan di kota-kotapun sering ditemukan praktek hidup yang sebenarnya
berakar dalam agama suku. Misalnya pemilihan hari-hari tertentu yang diklaim
sebagai hari baik untuk melaksanakan suatu upacara. Hal ini semakin menarik
sebab mereka itu pada umumnya merupakan pemeluk yang “ fanatik” dari salah satu
agama monoteis bahkan pejabat atau pimpinan agama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh
pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah
kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan,
tentang Tuhan dan kesadaran akan maut menimbulkan relegi, dan sila Ketuhanan
Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agamanya para tasauf.
Bukti di atas sampai pada pendapat bahwa agama merupakan
tempat mencari makna hidup yang final dan ultimate. Kemudian, pada urutannya
agama yang diyakininya merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam
hubungan sosialnya, dan kembali kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat,
di mana pengalaman keagamaan akan terefleksikan pada tindakan sosial, dan
individu dengan masyarakat seharusnyalah tidak bersifat antagonis.
B.
Saran
Dengan dibuat nya makalah ini kami mengharapkan kepada
pembaca agar bisa memahami dan dapat menerangkan hubungan
antara agama dan masyarakat