Untukmu yang Dulu Memilih Pergi: Lihatlah, Aku
Bahagia Walau Sendiri
Halo, kamu yang dulu memilih pergi. Bagaimana
kabarmu hari ini?
Sudah cukup lama kita
tak bersua. Sibuk apakah kau akhir-akhir ini? Masihkah bergelut dengan hobimu
yang dulu, atau kau sudah punya kesukaan baru?
Bolehkah aku bertanya
perihal orangtuamu juga? Sehat-sehat sajakah mereka, seiring dengan
bertambahnya usia? Jujur, aku sangat rindu berbincang dengan keduanya.
Kubayangkan mereka masih sama hangatnya seperti dulu, saat aku masih bermain kerumahmu.
Dan masihkah orang
bertanya mengapa kau dan aku tak pernah lagi terlihat bersama? Masihkah mereka
membelalakkan mata, ketika kau menjelaskan perlahan alasannya? Karena
terkadang, sampai sekarang, ada saja orang yang bertanya padaku apa kabarmu.
Ah, andai kau bisa melihat reaksi mereka saat kukatakan kita sudah tak lagi ada
apa-apa.
Sejak kita resmi tak
bersama lagi, segala hal tentangmu sebisa mungkin kuhindari. Aku memutus
silaturahmi demi cepat memulihkan hati. Namun kini, aku sudah siap menyapamu
lagi. Aku ingin berkata bahwa aku baik-baik saja. Kuharap kabarmu pun sama
baiknya.
Perpisahan kita adalah
kejadian yang tak kusangka-sangka. Jujur, aku sempat tak mau percaya saat kau
bilang tak lagi cinta.
cinta kita tumbuh bersama
Kau dan aku bertemu
ketika kita masih sama-sama muda dan lugu. Awal kedekatanmu dan aku pun begitu
sederhana: ada rasa nyaman saat kita berbicara dan begitu menyenangkan saat
kita saling melempar canda. Jiwa kita tumbuh bersama, menyaksikan satu sama
lain mendewasa.
Aku sempat begitu
percaya pada “kita”. Bagiku, aku dan kamu adalah dua orang yang saling
mengimbangi dan melengkapi. Karaktermu yang sedikit perhatian kutimpali dengan
sifatku yang sediket cuek. Ketika kau malas mengerjakan tugas aku selalu bilang
itu tanggu jawabmu, yang wajib harus kau selesaikan, janga ngeluh inget orang
tua, mungin kata-kata itu yang selalu aku katakan kepadanya. Ketika aku
kehilangan semangat untuk belajar demi ujian, aku, kau salalu memberi motivasi
ayo belajar pokoknya IP semester ini harus 3 percuma keberadaanku yag selalu
memberimu semangat kamu ngak berubah IP Cuma 2 koma rugi kalo nilai ngak bagus
kamu dah jauh- jauh dari (…….)itu yang selalu kmu katakana, kini aku semester
ahir aku dapat IP 3.25 untuk pertama
kali tpi sayang kau sudah pergi ingin rasanya bilang ini buat kamu, ini hasil
motivasimu makasih, berkata pun aku tak sanggup.
Sifatku yang mudah
gelisah kau redam dengan pribadimu yang tenang. Kau bilang, jangan takut gagal,
karena tugasku hanya berusaha sebaik-baiknya. Kau pun berkata bahwa semua akan
baik-baik saja. Dekapanmu yang hangat dan erat membuatku percaya.
Mungkin sifat cuek ku yang membuatmu pergi, padahal
aku ingin mencitaimu dengan sederhana tanpa di lebih-lebihkan, dari kesalah
pahaman kita ahirnya berpisah, aku ingin kita memperbaiki diri dulu, kita
introveksi supaya hubungan kedepannya kita lebih baik, tpi kau salah
mengartiakan kau bilang itu putus,,
Oh,,, tidak
Saat terahir ku telpon awalnya kita bicara seperti
biasa tanpa ku sadari kamu sudah mengangapku teman biasa, kau bilang bukan kah
kau sudah memutuskan ku, aku terdiam sejenak dan ku berkata kemaren saya
berkata untuk introveksi diri supaya hubungan kita lebih baik lagi, dan kau
menjawab jadi kita belum putus, ya udah sekarang aku yang putusi,,!!
Sunggu egois, dalam hatiku berkata
Sekaranga aku udah ada yang baru, kau bilang,,,!!!
Bagai petir menyambar tanpa ada hujan mendung ataupun angin,,,
sekarag terbukti siapa yang lebih setia, mukin kamu merasa kmu yang lebih setia, aku pun begitu, ya sudahlah allohuaklam,,,
coba tanya hati kecil mu, mungkin bisa menilai siapa yang lebih setia,,
sekarag terbukti siapa yang lebih setia, mukin kamu merasa kmu yang lebih setia, aku pun begitu, ya sudahlah allohuaklam,,,
coba tanya hati kecil mu, mungkin bisa menilai siapa yang lebih setia,,
Tentu ada saat di mana kita bersilang pendapat. Tapi
pernahkah aku terpikir untuk meninggalkanmu karena opini kita tak bertitik
temu? Tidak. Bukankah selama ini kita berusaha menyelesaikan segala masalah
yang ada secara dewasa?
Lama sekali rasanya sejak pertemuan kita yang
terakhir. Sejak di mana kau berkata kau tak lagi cinta, bahwa sudah saatnya
bagi kita untuk tak lagi bersama.
“Oh,” jawabku. Oh. Aku kehabisan kata-kata.
Setiap aku menelpon aku berusaha terlihat tenang,
tak sudi memperlihatkan air mata. Baru saat kembali ke kamar sendirian aku
menangis .
Jangan salahkan aku jika sempat percaya bahwa kau
istimewa. Bagaimanapun, kita pernah bahagia.
Aku adalah pihak yang ditinggalkan. Bohong jika
kubilang itu tak menyakitkan.
.
bohong, jika tak sakit rasanya dicampakkan
“Apakah yang selama ini kuberikan padamu tak
mencukupi? Kekurangan apa yang kumiliki, sampai orang yang kusayangi memutuskan
pergi?”
Pertanyaan itu yang berputar di kepalaku di
hari-hari pertama setelah perpisahan kita. Memang akulah pihak yang
ditinggalkan di sini. Bohong jika kubilang itu tak membuatku sakit hati.
Kau tak akan pernah tahu apa yang kurasakan; bagaimana
aku berusaha bertahan. Mendengar namamu diucapkan saja membuatku harus
mengingatkan diri untuk tenang dan mengambil napas dalam-dalam. Melintasi
tempat-tempat yang dulu punya makna untuk kita, memegang barang-barang yang
pernah menjadikan hidupku lebih berwarna — hubungan yang kita jalani terlalu
panjang untuk tak menyisakan memori. Pernahkah kau mengira bahwa aku akan jatuh
sedalam ini?
Aku selalu mengagumi karaktermu yang mudah legawa
dan lupa. Ingin rasanya jadi dirimu, yang begitu mudah melepas masa lalu.
Jadi, kudengar kau baik-baik saja. Setidaknya tak
ada sesal atau kesedihan yang kau ceritakan dengan terbuka pada teman-teman
kita. Kudengar pula kau sudah mencoba mengencani satu-dua orang baru. Ah, kau
memang orang yang mudah legawa sejak dulu. Mungkin sifat legawamu inilah yang
membuatmu begitu mudah merelakan apa yang telah kita bangun bersama;
mengabaikan apa yang masa depan punya untuk kita.
Tidak, aku tak ingin bersikap sinis di sini. Justru
sifat legawa dan santaimu itu yang sejak dulu kukagumi. Bagimu, berhenti peduli
pada orang-orang yang pernah kau sayangi adalah semudah menjentikkan jari.
Ketika hubunganmu dengan mereka menemui kendala, kau tak akan tergerak untuk
menyelesaikannya. Buat apa repot-repot? Pikirmu. Lebih baik kau tinggal saja.
Aku iri padamu, yang begitu mudah melepas masa lalu.
Berbeda darimu, aku tak bisa begitu. Butuh waktu lama bagiku untuk menerima
bahwa bagiku kau titik dan bagimu aku tanda tanya. Butuh waktu lama untuk
menerima bahwa kau tak lagi cinta; bahwa bagimu, jauh lebih menarik untuk
mencari orang lain yang baru ketimbang mempertahankanku.
Memang butuh waktu lama. Namun aku berhasil
melakukannya.
Kini aku sudah jauh lebih bahagia. Pelan tapi pasti,
aku memaafkan yang terjadi di antara kita
“Proses penyembuhan”-ku berlangsung pelan-pelan. Tak
seperti dirimu, aku memang tak bisa langsung memasang wajah tak peduli dan
menjalani hari seolah tak ada apa-apa yang terjadi. Di hari-hari pertama
setelah kita tak lagi bersama, aku kerap tenggelam dalam luapan emosi yang
tiba-tiba datang.
Teman-teman dan sahabatlah yang membantuku bertahan.
Ketika aku mengikrarkan diri tak layak dicintai, mereka “menghajarku” dengan
cinta yang tulus dan sebenarnya. Mereka meyakinkanku, hidup adalah lebih dari
apa yang pernah kumiliki denganmu. Bahwa masa depan menjanjikan lebih banyak
kebaikan dari masa lalu. Aku pun mendidik hati untuk menerima. Meyakini bahwa
Tuhan sedang menyiapkan yang terbaik dari atas sana.
Aku berhenti mengasihani diri sendiri, berhenti
menyalahkanmu, menyalahkan aku, menyalahkan keadaan. Pelan tapi pasti, aku
memaafkan apa yang terjadi.
Kini aku sudah jauh lebih bahagia. Sudah kuterima
bahwa kita memang harus diakhiri — bahwa perasaanku memang harus diaborsi.
Terima kasih telah menjadikanku lebih kuat dan
dewasa. Hidupku yang sebenarnya baru dimulai setelah kau tak ada.
Hidupku baru dimulai
Hidupku baru dimulai
Setelah kau pergi, aku belajar menjadi lebih
mandiri. Waktu yang dulu banyak kuhabiskan bersamamu kini kupakai untuk
menambah ilmu dan menemukan hobi baru ku naik gunung,.
Aku pun tak
keberatan jika harus pergi ke luar sendirian, kalau hanya untuk makan atau
membeli pakaian. Dan jika aku memang butuh ditemani, toh ada sahabat atau teman
yang selalu bisa diandalkan.
Harus kuakui, aku sempat marah dan membenci
keputusanmu untuk pergi. Namun sekarang aku paham: bukan tugas orang lain untuk
mencintai diriku sendiri. Tugas itu hanya aku yang memiliki. Ya, jika mencintai
orang lain adalah hak, mencintai diri sendiri adalah kewajiban.
Memahami itu semua membuatku lebih dewasa. Aku yang
dulu pencemas dan takut gagal kini lebih mudah berserah dan bersabar. Aku yang
dulu takut sendirian kini sadar tak ada yang sebenarnya perlu dikhawatirkan.
Cukuplah aku bahagia dengan apa yang sekarang ini aku punya. Ketulusan orang
yang ada di sekitar membuatku merasa tak pernah putus dicinta.
Hidupku tidaklah berhenti saat kau memutuskan pergi.
Justru sebaliknya, hidupku yang sebenarnya baru dimulai. Kesempatan dan
kebaikan yang akan datang padaku terlalu sayang jika terbuang gara-gara aku
sibuk bermain jadi “korban” dan tenggelam dalam sakit hati.
Suatu hari nanti, aku akan bertemu seseorang yang
baru. Aku akan mampu memberinya cinta yang lebih sempurna, karena kita pernah
bersama dulu.
Aku akan mampu mencintai lebih sempurna, karena kita
pernah bersama
Kita memang sudah berpisah lama. Rasa yang dulu
pernah aku punya kini tak lagi terlihat jejaknya. Jika dulu namamu masih
membuat tekanan darahku meninggi, kini ia terdengar sama seperti jutaan nama
manusia yang lainnya. Jika tempat-tempat yang dulu bermakna bagi kita sempat
kuhindari, kini aku bisa mendatanginya lagi dengan berani.
Banyak orang berkata, buat apa repot-repot
berpacaran jika akhirnya berpisah juga? Bukankah usaha yang sudah dikerahkan
selama ini jadi terbuang sia-sia?
Tapi tidak ada cinta yang sia-sia dijalani. Meski
akhirnya harus diamputasi, rasa yang pernah kumiliki telah membuatku paham
makna memberi.
Perpisahan kita tak mengubahku jadi sinis soal
cinta. Justru kau telah memberiku banyak pelajaran berharga.
Suatu hari di masa depan, Aku yakin akan bertemu dia
yang memang tertakdirkan. Dan jika hari itu tiba, aku akan mampu menjadi
pasangan yang lebih dewasa. Yang lebih mampu membuat diri sendiri, dan diri
mereka yang kucintai, bahagia.
Kita memang tak pernah digariskan untuk selamanya.
Namun, aku bisa jadi manusia yang lebih berdaya karena kita pernah bersama.
Dan seandainya kita bertemu kembali, suatu saat
nanti, aku siap menyambutmu dengan senyum dan tangan terbuka.
Kepadamu yang dulu meninggalkanku: lihatlah, aku
baik-baik saja. Jika kau kini sama baiknya, senang sekali aku mendengarnya
LXXXX AXXXXXXX